Oleh : Ust Achmad Fathony
Pengasuh Pesantren Al Kahfi, Tarik, Sidoarjo
Jelas sekali wejangan Kyai PKS di lereng gunung antah berantah itu. Para santrinya tampak serius mencermati, “Ketahuilah, partai dakwah itu adalah : jika bertemu kemungkaran, ia hentikan dengan tangannya, kekuatan dan kekuasaannya…”, katanya diselingi batuk-batuk kecil. Seorang santri menyahut, “Maaf, pak Kyai. Itu resikonya besar. Berat pak Kyai…”. “Jika tidak mampu, maka ia hentikan dengan lisan”, jelas Kyai PKS lagi. Para santri saling berpandangan. Seorang di antara mereka hendak bertanya. Tetapi sang Kyai segera melanjutkan, “Jika memang masih tidak mampu, ia tetap harus berupaya menghentikannya walau dengan hati berupa pengingkaran dan do’a-do’a serta pengharapan”.
Sekian lamanya masa berjalan. Hingga pada pertengahan tahun lalu, para santri menyaksikan polah usil orang-orang sesama penumpang kapal koalisi Kabinet Indonesia Bersatu jilid 2. Polah yang segera dimanfaatkan oleh pihak-pihak misterius untuk menorehkan coreng-moreng di wajah partai dakwah. Tetapi tak tampak pembelaan yang setara dari para santri. Polah yang telah diperkaya dengan beragam kemungkaran itu mereka terima saja dengan rendah hati.
Ooo, rupanya para santri seragam menerjemahkan wejangan sang Kyai PKS. Menghadapi kemungkaran itu pertamanya adalah dengan hati. Apalagi kita memerlukan citra sebagai partai santun. Hematlah kata-kata. Apalagi ucapan-ucapan kita tak banyak laku di media. Hindarilah okol, kekuatan fisik dan kekuasaan yang kita miliki. Apalagi zaman ini akrab dengan stigma terorisme Islam.
Lha, dalla !!! Wejangan kok menjadi terbalik ? Maka datanglah teguran dari balik awan sana. Sampai terjadi hiruk-pikuk itu. Isu percobaan suap impor daging sapi. Ibarat perang, ini adalah peluru berikutnya. Bukan peluru pertama. Bukan pula peluru terakhir. Syukurlah para santri lekas menyadari hal itu. Tafsir yang lebih shahih atas wejangan sang Kyai pun mereka temukan. “Kita harus pakai tangan kita. Kekuatan dan kekuasaan yang kita miliki lebih berhak dimanfaatkan untuk menghentikan kemungkaran. Ini prioritas pertama, sesuai wejangan Sang Kyai”.
Ibarat peselancar. Para santri rupanya tak ingin takluk oleh tingginya gelombang. Mereka tak sudi terlipat oleh gelombang itu dan bertemu dengan ganasnya alam bawah laut. Mereka sudah seharusnya bersuka-cita menari di atas gelombang. Itulah kepiawaian. Itulah prestasi.
Saat para santri kembali ke majelis kaderisasi, sang Kyai tak bisa menyembunyikan bangganya. Setelah mengangkat dua jempolnya, ia kembali melanjutkan wejangan, “Kini, janganlah percaya dengan sihir kata-kata klise : biarlah anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu. Sesungguhnya, ungkapan ini hanya berlaku jika kita ketemu dengan anjing baik-baik”. “Betul Kyai. Masalahnya, anjing ini bukan bertipe seperti itu. Si anjing menggonggong terus-terusan siang malam”, seorang santri sigap menyahut. Seorang lainnya menimpali, “Anjing itu menari-nari menghalangi langkah-langkah kaki ini. Jadi, anjing macam begini harus dilibas. Timpuk saja kepalanya dengan batu gedhe”.
Kyai PKS manggut-manggut. Matanya berbinar. Tampak jelas bahagianya yang membuncah. Murid-muridnya kini telah beranjak meninggalkan maqom keminderan bocah ingusan.
sumber : http://pksnews.com/wejangan-kyai-pks/
0 comments :
Posting Komentar